BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) adalah satu–satunya lembaga pemerintah Non Departemen yang menyelenggarakan pendidikan keahlian di bidang teknologi nuklir program Diploma-IV yang berada di lingkungan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN
Hal ini menarik untuk dikaji,diteliti dan dirancang sendiri mengingat laboratorium aktif di STTN-BATAN belum ada, dan lebih menarik adalah adanya penerapan ilmu Proteksi Radiasi dan Keselamatan Kerja. yang telah mendapat izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk menggunakan sumber radiasi(*) untuk keperluan penelitian maupun produksi radioisotop. Sebagai konsekuensinya keselamatan dan penggunaan berbagai sumber radiasi di PTNBR diawasi, sehingga setiap personil yang terlibat dalam pekerjaan dengan menggunakan sumber radiasi harus taat terhadap prosedur dan peraturan yang diberlakukan di PTNBR, yang mengacu pada berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah maupun BAPETEN..untuk itu untuk memperdalam tentang pengetahuan tentang radiasi, teknik nuklir dan semacamnya maka diadakanya dengan study praktek atau kunjungan keuniversitas yang mempunyai basis – basis tentang materi – materi yang berkaitan tentang kelautan yang saling berhubungan dengan materi yang ada diuniversitas tersebut.yang akan secara lebih dalam untuk mempelajari maupun untuk sekedar dalam pengetahuan saja.
1.2. Tujuan
Dalam study praktek ini sendiri tentunya didasari dengan tujuan yang harus dicapai atau materi yang harus didapat sewaktu kunjungan. Adapun tujuan dari study praktek ini yaitu diantaranya yaitu :
1. Mahasiswa dapat mengenal dan mengetahuai tentang radiasi nuklead dan teknik nuklir.
2. Mahasiswa dapat menguasai tentang materi – materi yang telah diterangkan sewaktu kunjungan.
3. Mahasiswa dapat mengetahuai dan kegunaan dari alat – alat atau instrument – instrument yang ada di STTN yang berkaitan dengan materi – materi yang ada dikelautan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Profil BATAN - STTN
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir didirikan atas dasar adanya suatu gagasan untuk membuka program diploma bagi para teknisi pada akhir tahun 1982 yaitu pertemuan antara Kepala Pusdiklat dengan Direktur Jendral BATAN yang didorong oleh kebutuhan akan tenaga teknisi berkualitas tinggi yang mampu berfungsi sebagai penghubung antara tenaga teknisi dan peneliti. Pada awal tahun 1983, gagasan ini dikembangkan dengan membentuk Satuan Tugas Persiapan Pendidikan Ahli Teknik Nuklir berdasar SK Dirjen BATAN No. 08/DJ/07/I/1983. Mengingat proses untuk melaksanakan tugas tersebut memerlukan waktu, tugas Satgas diperpanjang dengan SK Dirjen BATAN No. 81/DJ/V/1984. Setelah semua persiapan baik perangkat keras maupun perangkat lunak semakin mantap, dibentuklah Satuan Tugas pengelola Pendidikan Ahli Teknik Nuklir dengan SK Dirjen BATAN No. 53/DJ/IV/1985. Pada tanggal 3 Agustus 1985 Pendidikan Ahli Teknik Nuklir dengan singkatan PATN di Yogyakarta dibuka dengan resmi oleh Direktur Jendral BATAN, Bapak Ir. Djali Ahimsa. Ijin operasional dari Dirjen Dikti diperoleh dengan SK Dirjen Dikti No. 1640/D/O/86 tanggal 15 September 1986.
Persetujuan pembukaan Jurusan dan Program Studi pada STTN-BATAN di Yogyakarta oleh Direktur Jenderal Perguruan Tinggi pada tanggal 20 Maret 2001 meliputi 2 Jurusan dengan 3 Program Studi dengan surat Nomor 1037/D/T/2001, yaitu Jurusan Teknokimia Nuklir dengan 1 Program Studi (Prodi) Teknokimia dan Jurusan Teknofisika Nuklir dengan 2 Program Studi, yaitu Prodi Eelktronika Instrumentasi dan Prodi Elektromekanik.
Setelah dilakukan pembahasan antara BATAN dengan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) akhirnya, pada tanggal 8 Juni 2001 diterbitkan KEPRES nomor 71 tahun 2001 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir. Keputusan ini ditindak lanjuti dengan Keputusan Kepala BATAN Nomor 360/KA/VII/2001 tentang Organisi dan Tata Kerja STTN. Pada tanggal 24 Agustus 2001 STTN dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi, Ir. M. Hatta Rajasa ditandai dengan penandatanganan prasasti yang sekarang terletak di halaman depan STTN.
Organisasi STTN-BATAN dilaksanakan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Nomor 360/KA/VII/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir dan Keputusan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Nomor 542/KA/XI/2002 tentang Statuta Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir.
Unsur Pimpinan STTN terdiri atas seorang Ketua dan 3 orang Pembantu Ketua. Pembantu Ketua terdiri dari Pembantu Ketua I Bidang Akademik, Pembantu Ketua II Bidang Administrasi Umum, dan Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan. Senat merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi STTN yang mempunyai tugas merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan STTN, merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademika, merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan STTN, memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Pendapatan dan Belanja yang diajukan oleh pimpinan STTN, menilai pertanggungjawaban pimpinan STTN atas pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, merumuskan peraturan pelaksanaan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di STTN, melaksanakan pemilihan calon Ketua dan mengajukan usulan pengangkatan serta pemberhentian Ketua kepada Kepala BATAN, memberikan pertimbangan kepada Kepala BATAN berkenaan dengan pengangkatan dan pemberhentian dosen yang memangku jabatan akademik di atas Lektor, dan menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
Bagian Administrasi Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan administrasi di bidang persuratan dan kepegawaian, keuangan, serta perlengkapan dan rumah tangga. Bagian Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan terdiri dari Subbagian Perencanaan dan Kerja Sama, Subbagian Akademik dan Pengajaran, serta Subbagian Kemahasiswaan dan Alumni. Bagian Administrasi Umum terdiri dari Subbagian Persuratan dan Kepegawaian, Subbagian Keuangan, serta Subbagian Perlengkapan. Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UPPM) merupakan unsur pelaksana di bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan mempunyai fungsi melakukan penelitian terapan di bidang teknologi nuklir, menyebarkan hasil penelitian, mengenalkan ilmu dan teknologi di bidang nuklir kepada masyarakat dan meningkatkan keterkaitan program STTN dengan kebutuhan masyarakat. tanggal 15 Maret 2001 memiliki 2 jurusan dengan 3 Program Studi, yaitu: Teknofisika Nuklir dan Teknokimia Nuklir. Jurusan Teknofisika Nuklir memiliki 2 Program Studi, yaitu: Elektronika Instrumentasi dan Elektromekanik. Jurusan Teknokimia Nuklir memiliki 1 program Studi, yaitu: Teknokimia.
1. Teknofisika Nuklir
Bidang Teknofisika adalah bidang ilmu yang secara umum mengamati fenomena fisis alam, mempelajari hubungan sebab-akibat, menurunkan formula matematik, mengimplementasikannya dalam bentuk alat (tool), alat ukur (instrument), process (reactor), perkakas (equipment), bahkan sebuah sistem lengkap atau plant. Dalam bukunya Sears & Zeamnsky, fisika disebut juga ”science of measurement”, karena pengamatan fenomena alam tersebut mengharuskan penjabaran dalam bentuk pengukuran besaran-besaran fisis yang terlibat dalam fenomena alam tersebut. Oleh karena itu, bidang ilmu fisika ini banyak dikembangkan untuk mendukung pengembangan alat ukur disamping pengembangan proses atau plant. Teknofisika Nuklir lebih mengkhususkan pada pengamatan proses berkaitan dengan reaksi nuklir serta radiasinya dan pengukuran besaran-besaran fisisnya dalam rangka monitoring dan pengendalian proses tersebut sehingga pemanfaatan proses dan energi nuklir berlangsung secara terukur, terkendali serta aman terhadap pekerja, fasilitas dan lingkungan. Untuk itu perlu dikembangkan bidang ilmu fisika terapan yang secara khusus mempelajari bagaimana proses nuklir tersebut berlangsung, serta mengukur dan mengendalikannya.
2. Teknokimia Nuklir
Ruang lingkup atau bidang kerja sarjana teknokimia adalah penelitian proses, pengembangan proses, rekayasa proses dan analisis ekonomi, proyek keteknikan, teknik konstruksi, teknik operasi dan teknik pemasaran hasil (dari Harper, J.I., 1954, “Chemical Engineering in Practice).
BAB II
MATERI DAN METODA
2.1 Materi
Praktikum oseanografi kimia tentang energi nuklir ini dilakukan pada:
- Hari/Tanggal : Selasa, 22 Desember 2009
- Waktu : 09.00 – selesai
- Tempat : STTN (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir)Yogyakarta
2.2. Metode
a. Data Primer
Merupakan data yang didapatkan dengan pengukuran atau observasi langsung di lapangan Dalam perancangan ini yang termasuk data primer yaitu meliputi identifikasi sumber radioaktif yang digunakan dan tempat untuk bekerja dengan bahan radioakti serta limbah radioaktif yang ada. Dan perancangan ruangan.
b. Data sekunder.
Merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil perancangan dan penelitian terdahulu atau hasil studi pustaka.evaluasi terhadap keselamatan kerja dan proteksi radiasi.yang meliputi :
1. Tahapan persiapan
Mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan perancangan laboratorium dengan melakukan studi pustaka maupun data tertulis lainnya yang kemudian dicantumkan dalam kajian teori sebagai landasan untuk penyusunan perancangan.
2. Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan ruang lingkup dan batasan masalah dalam perancangan ini, maka digunakan asumsi-aumsi, observasi dan evaluasi Laboratorium.
1. Justifikasi: Setiap pemakaian zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya harus didasarkan pada azas manfaat.
2. Optimasi: Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya ALARA (As Low As Reasonably Achieveable) dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial.
3. Limitasi: Dosis ekivalen yang diterima oleh pekerja radiasi atau masyarakat tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis (NBD) Katoda memanasi filament. penyedia elektron (emisi termiononik).HV( beda potensial antara katoda -anoda) untuk mempercepat elektron.Teori elektromagnetik klasik: elektron di percepat bremstrahlung elektron berhenti mendadak sinar x Teori kuantum radiasi : elektron yang jatuh pada target kehilangan Ek jadi panas Sinar X Sinar X merupakan efek foto listrik balik
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Radiasi
Materi ini akan membahas prinsip kerja alat ukur radiasi baik sebagai surveimeter, dosimeter personal, dan monitor kontaminasi. Radiasi dipancarkan secara acak (random) sehingga pengukuran radiasi berulang meskipun dilakukan dengan kondisi yang sama akan memperoleh hasil pengukuran yang berfluktuasi (berbeda-beda). Materi ini akan membahas sifat acak pancaran radiasi tersebut yang mengikuti distribusi Gauss, cara untuk menghitung ketidak-pastian pengukuran serta cara menyajikan nilai hasil pengukuran, pengujian data distribusi Gauss (chi square test), dan cara membuang data yang tidak menyimpang.
4.1.1. Limit Deteksi dan Limit Kuantisasi
Setiap pengukuran radiasi akan menghasilkan kesalahan atau ketidak-pastian, termasuk pengukuran radiasi latar belakang (background). Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bila intensitas radiasi yang dipancarkan oleh sumber ”tidak terlalu” besar dibandingkan dengan intensitas radiasi latar belakang.Sebagai contoh, hasil pengukuran intensitas suatu sampel (yang berarti pengukuran radasi yang berasal dari sumbernya dan ditambah dengan radiasi latar belakang) adalah 120 sedangkan pengukuran tanpa sampel (yang berarti hanya pengukuran radiasi letar belakang) adalah 100. Secara perhitungan dengan mudah dapat ditentukan bahwa radiasi latar belakang adalah 100 sehingga radiasi sumbernya saja adalah 20. Hal di atas tidak dapat dibenarkan karena nilai intensitas radiasi latar belakang juga berfluktuasi sehingga nilai 120 tersebut mungkin saja hanya fluktuasi nilai intensitas radiasi latar belakang, jadi sampel tersebut sebenarnya tidak mengandung zat radioaktif sama sekali.Limit deteksi adalah suatu batas nilai yang digunakan untuk menentukan apakah zat radioaktif ”terdeteksi” ada di dalam sampel yang diukur atau memang tidak terdeteksi. Nilai limit deteksi ditentukan sebesar simpangan pengukuran latar belakang dengan tingkat kepercayaan 3 sigma.
Nilai hasil pengukuran radiasi sumber pada contoh di atas ( = 20 ) masih kurang dari limit deteksinya ( = 30 ) sehingga pada contoh di atas tidak terdeteksi ada zat radioaktif di dalam sampel.
4.1.2. Aspek Pengukuran
Sebenarnya terdapat banyak sekali aspek pengukuran yang harus diperhatikan agar dapat memperoleh hasil pengukuran yang akurat akan tetapi dalam materi ini hanya akan dibahas beberapa aspek yang penting saja.
ò Waktu Mati (Dead Time)
Proses pengubahan sebuah radiasi menjadi pulsa listrik dan akhirnya tercatat sebagai sebuah cacahan memerlukan selang waktu tertentu yang sangat dipengaruhi oleh kecepatan detektor dan peralatan penunjangnya. Selang waktu tersebut dinamakan sebagai waktu mati (dead time) dari sistem pencacah karena selama selang waktu tersebut sistem pencacah tidak dapat mendeteksi radiasi yang datang. Dengan kata lain, radiasi yang datang berurutan dengan selang waktu yang lebih singkat daripada waktu matinya tidak dapat dicacah atau tidak terhitung oleh sistem pencacah.Karena intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber bersifat acak (random) maka terdapat kemungkinan bahwa beberapa radiasi yang mengenai detektor tidak tercatat, semakin tinggi intensitasnya (laju cacahnya) semakin banyak radiasi yang tidak tercatat sehingga hasil pengukuran sistem pencacah lebih sedikit dari seharusnya.Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengeliminasi masalah waktu mati ini adalah menggunakan persamaan berikut.
Rk adalah laju cacah setelah dikoreksi, Ru adalah laju cacah yang dihasilkan sistem pencacah dan t adalah waktu mati sistem pencacah. Waktu mati sistem pencacah ( t ) dapat ditentukan dengan cara pengukuran dua sumber yang identik.
R1 adalah laju cacah sumber 1, R2 adalah laju cacah sumber 2, R12 adalah laju cacah sumber 1 dan sumber 2 bersama-sama, sedang Rb adalah laju cacah latar belakang.Waktu mati sistem pencacah yang menggunakan detekor GM adalah sekitar ratusan µdetik sedangkan detektor NaI(Tl) di bawah 10 µdetik. Jadi sumber yang akan digunakan (R1 dan R2) untuk melakukan penentuan waktu mati sistem pencacah harus disesuaikan. Aktivitas masing-masing sumber (R1 atau R2) dipilih yang masih belum terlalu dipengaruhi waktu mati tetapi bila dicacah bersama-sama harus telah dipengaruhi oleh waktu mati.
Bila aktivitas sumber terlalu kecil sehingga keduanya belum dipengaruhi oleh waktu mati maka nilai waktu mati yang diperoleh tidak benar, bahkan sering bernilai negatif, karena pembilang persamaan di atas bernilai negatif. Sebaliknya bila aktivitasnya terlalu besar maka detektor akan mengalami saturasi sehingga nilai waktu matinya juga salah, bisa bernilai negatif karena penyebutnya yang bernilai negatif.
ò Efisiensi
Efisiensi adalah suatu parameter yang sangat penting dalam pencacahan karena nilai inilah yang menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa listrik yang dihasilkan sistem pencacah (cacahan) terhadap radiasi yang diterima detektor. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa secara ideal, setiap radiasi yang mengenai detektor akan diubah menjadi sebuah pulsa listrik dan akan dicatat sebagai sebuah cacahan. Bila hal itu terjadi maka sistem pencacah mempunyai efisiensi 100%.
Efisiensi sistem pencacah sangat ditentukan oleh efisiensi detektor yang mempunyai nilai sangat berbeda-beda antara satu jenis detektor dengan jenis lainnya. Sebagai contoh detektor sintilasi dapat mempunyai efisiensi 50% untuk radiasi gamma sedang detektor isian gas hanya 5%.Selain jenis detektornya, efisiensi sistem pencacah juga dipengaruhi oleh setting atau pengaturan selama melakukan pencacahan, misalnya jarak antara sumber dan detektor, tegangan kerja, faktor amplifikasi pada amplifier, batas atas dan bawah pada diskriminator dan sebagainya. Oleh karena itu nilai efisiensi sistem pencacah harus ditentukan secara berkala atau bila terdapat perubahan setting pada sistem pencacah.Hal lain yang mempengaruhi efisiensi sistem pencacah adalah jenis radiasi, energi radiasi, dan intensitas radiasi. Sangatlah jelas bahwa jensi radiasi yang berbeda akan mempunyai efisiensi yang berbeda karena proses interaksi radiasi terhadap materi berbeda-beda, bahkan mungkin suatu detektor hanya dapat mengukur satu jenis radiasi saja. Sebagai contoh detektor sintilasi NaI(Tl) hanya digunakan untuk mengukur radiasi gamma. Yang menjadi persoalan, ternyata efisiensi dipengaruhi, meskipun sedikit, oleh energi dan intensitas radiasi yang datang.
4.1.3. Klasifikasi Alat Ukur Proteksi Radiasi
Alat ukur proteksi radiasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari detektor dan peralatan penunjang, seperti sistem pengukur radiasi lainnya. Alat ukur ini dapat memberikan informasi dosis radiasi seperti paparan dalam roentgen, dosis serap dalam rad atau gray, dan dosis ekivalen dalam rem atau sievert.
Alat proteksi radiasi ini dibedakan menjadi tiga yaitu
· dosimeter personal
· surveimeter
· monitor kontaminasi
Dosimeter personal berfungsi untuk “mencatat” dosis radiasi yang telah mengenai seorang pekerja radiasi secara akumulasi. Oleh karena itu, setiap orang yang bekerja di suatu daerah radiasi harus selalu mengenakan dosimeter personal. Surveimeter digunakan untuk melakukan pengukuran tingkat radiasi di suatu lokasi secara langsung sedang monitor kontaminasi digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi pada pekerja, alat maupun lingkungan.
4.1.4. Kalibrasi Alat Ukur
Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa setiap alat ukur proteksi radiasi harus di kalibrasi secara periodik oleh instansi yang berwenang. Hal ini dilakukan untuk menguji ketepatan nilai yang ditampilkan alat terhadap nilai sebenarnya. Perbedaan nilai antara yang ditampilkan dan yang sebenarnya harus dikoreksi dengan suatu parameter yang disebut sebagai faktor kalibrasi ( Fk ). Dalam melakukan pengukuran, nilai yang ditampilkan alat harus dikalikan dengan faktor kalibrasinya. Secara ideal, faktor kalibrasi ini bernilai satu, akan tetapi pada kenyataannya tidak banyak alat ukur yang mempunyai faktor kalibrasi sama dengan satu. Nilai yang masih dapat 'diterima' berkisar antara 0,8 sampai dengan 1,2. Faktor Kalibrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut.
Tanggapan atau respon suatu alat ukur terhadap dosis radiasi ternyata berbeda untuk energi radiasi yang berbeda. Setiap alat ukur seharusnya dikalibrasi dengan sumber yang mempunyai tingkat energi yang 'sama' dengan tingkat energi radiasi yang digunakan di lapangan. Perbedaan respon tersebut sangat “significant” pada rentang energi di bawah 200 keV seperti terlihat pada Gambar IV.5 berikut. Pada rentang energi di atas 500 keV, perbedaan responnya sudah tidak terlalu besar.
ò Monitor Kontaminasi
Kontaminasi merupakan suatu masalah yang sangat berbahaya, apalagi kalau sampai terjadi di dalam tubuh. Kontaminasi sangat mudah terjadi kalau bekerja dengan sumber radiasi terbuka, misalnya berbentuk cair, serbuk, atau gas. Adapun yang terkontaminasi biasanya adalah peralatan, meja kerja, lantai, tangan, sepatu. Jika intensitas radiasi yang dipancarkan oleh sesuatu yang telah terkontaminasi sangat rendah, maka alat ukur ini harus mempunyai efisiensi pencacahan yang sangat tinggi. Detektor yang digunakan untuk monitor kontaminasi ini harus mempunyai “jendela” (window) yang luas, karena kontaminasi tidak selalu terjadi pada satu daerah tertentu, melainkan tersebar pada permukaan yang luas. Tampilan dari monitor kontaminasi ini biasanya menunjukkan kuantitas radiasi (laju cacah) seperti cacah per menit atau cacah per detik (cpd). Nilai ini harus dikonversikan menjadi satuan aktivitas radiasi, Currie atau Becquerel, dengan hubungan sebagai berikut.
A adalah aktivitas radiasi, R adalah laju cacah dan h adalah efisiensi alat pengukur. Monitor kontaminasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu monitor kontaminasi permukaan, monitor kontaminasi perorangan dan monitor kontaminasi udara (airborne). Monitor kontaminasi permukaan (surface monitor) digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi segala permukaan, misalnya meja kerja, lantai, alat ukur ataupun baju kerja.
Monitor kontaminasi perorangan digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi pada bagian-bagian tubuh dari pekerja radiasi. Bagian tubuh yang paling sering terkontaminasi adalah tangan dan kaki, sehingga terdapat monitor kontaminasi khusus untuk tangan dan kaki yaitu hand and foot contamination monitor. Suatu instalasi yang modern biasanya dilengkapi dengan monitor kontaminasi seluruh tubuh (whole body monitor). Setiap pekerja yang akan meninggalkan tempat kerja harus diperiksa terlebih dahulu dengan monitor kontaminasi.Monitor kontaminasi udara digunakan untuk mengukur tingkat radioaktivitas udara di sekeliling instalasi nuklir yang mempunyai potensi untuk melepaskan zat radioaktif ke udara.
Sebagaimana survaimeter, detektor yang digunakan di sini dapat berupa detektor isian gas, sintilasi ataupun semikonduktor. Detektor yang paling banyak digunakan adalah detektor isian gas proporsional untuk mendeteksi kontaminasi pemancar alpha atau beta dan detektor sintilasi NaI(Tl) untuk kontaminasi pemancar gamma. Khusus untuk monitor kontaminasi udara biasanya dilengkapi dengan suatu penyaring (filter) dan pompa penghisap udara untuk “menangkap” partikulat zat radioaktif yang bercampur dengan molekul-molekul udara.
4.1.5. Sistem Spektroskopi
Sistem spektroskopi sebenarnya juga melakukan pencacahan sebagaimana sistem pencacah diferensial akan tetapi dengan selang energi yang sangat sempit sehingga dapat dikatakan melakukan pencacahan (jumlah radiasi) pada setiap “tingkat” energi. Hasil pencacahan tersebut ditampilkan sebagai suatu grafik antara jumlah radiasi (sumbu Y) terhadap energi radiasi (sumbu X) yang sering disebut sebagai spektrum radiasi, seperti contoh pada gambar 3 sebelum ini.Memang suatu spektrum radiasi dapat saja diperoleh menggunakan suatu sistem pencacah diferensial dengan mode SCA (single channel analyzer), sebagaimana dilakukan pada era sebelum tahun 70 an. Saat ini, atau setelah ditemukannya teknologi ADC (analog to digital converter), sistem spektroskopi sudah tidak lagi memakai mode SCA melainkan menggunakan peralatan yang disebut sebagai MCA (multi channel analyzer).
Seperti halnya pada sistem pencacah diferensial, detektor yang digunakan disini tidak boleh detektor GM. Detektor yang terbaik untuk keperluan ini adalah detektor semikonduktor karena mempunyai noise yang lebih kecil (low noise) dibandingkan detektor yang lain, sehingga lebih teliti dalam membedakan energi radiasi. Sebagai contoh detektor yang digunakan untuk radiasi gamma adalah detektor HPGe sedangkan untuk radiasi sinar-X adalah detektor SiLi atau LEGe.Sebagaimana detektor yang lain, detektor yang digunakan disini juga membutuhkan sumber tegangan tinggi (HV). Penentuan tegangan kerja detektor untuk sistem spektroskopi adalah dengan cara mencari tegangan kerja yang dapat menghasilkan nilai resolusi terbaik.
Bilangan biner tersebut akan diteruskan ke bagian memory yang akan menyimpan jumlah dari masing-masing bilangan biner yang dihasilkan ADC. Isi dari memory akan ditampilkan pada layar berupa spektrum radiasi.Sistem spektroskopi digunakan untuk pengukuran yang bersifat analisis baik kualitatif maupun kuantitatif, karena untuk keperluan ini harus berdasarkan spektrum radiasi yang dipancarkan oleh sampel yang dianalisis. Salah satu aplikasi yang paling banyak adalah untuk menganalisis jenis dan kadar unsur yang terkandung di dalam suatu bahan.
4.2. Pemanfaatan Radiasi Nuklir dan Radioisotop Dalam Kehidupan Manusia
Beberapa bahan yang ada di alam, seperti uranium, apabila direaksikan dengan neutron, akan mengalami reaksi pembelahan dan menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk memanaskan air hingga menjadi uap. Selanjutnya uap tersebut dapat digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir komersial yang pertama adalah Reaktor Magnox, yang dibangun pada tahun 1950-an di Inggris.Sedangkan penggunaan radioisotop secara sengaja untuk suatu tujuan tertentu dilakukan oleh George du Hevesy pada tahun 1911. Pada saat itu, ia masih berstatus seorang pelajar yang sedang meneliti bahan radioaktif alam. Karena berasal dari luar kota dan dari keluarga yang sederhana ia tinggal di suatu asrama yang sekaligus menyajikan makanan pokok sehari-hari. Pada suatu ketika, ia curiga bahwa makanan yang disajikan dicampur dengan makanan sisa dari hari sebelumnya, tetapi ia tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Untuk itu ia menaruh sejumlah kecil bahan radioaktif kedalam makanan yang sengaja tidak dihabiskannya. Keesokan harinya ketika makanan yang jenisnya sama disajikan, ia melakukan pemeriksaan makanan tersebut dengan menggunakan peralatan deteksi radiasi yang sederhana, dan ternyata ia mendeteksi adanya radioisotop dalam makanan yang dicurigainya. Mulai saat itulah ia mengembangkan penggunaan bahan radioaktif sebagai suatu perunut (tracer) untuk berbagai macam keperluan.Bidang Energi: Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Perbedaan antara Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Pembangkit Listrik Berbahan Bakar FosilSemua pembangkit tenaga listrik, termasuk PLTN, mempunyai prinsip kerja yang relatif sama. Bahan bakar (baik yang berupa batu bara, gas ataupun uranium) digunakan untuk memanaskan air yang akan menjadi uap. Uap memutar turbin dan selanjutnya turbin memutar suatu generator yang akan menghasilkan listrik. Perbedaan yang mencolok adalah bahwa PLTN tidak membakar bahan bakar fosil, tetapi menggunakan bahan bakar dapat belah (bahan fisil). Di dalam reaktor, bahan fisil tersebut direaksikan dengan neutron sehingga terjadi reaksi berantai yang menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan digunakan untuk menghasilkan uap air bertekanan tinggi, kemudian uap tersebut digunakan untuk menggerakkan turbin. Dengan digunakannya bahan fisil, berarti tidak menghasilkan CO2, hujan asam, ataupun gas beracun lainnya seperti jika menggunakan bahan bakar fosil.
\ Dari sisi sumber daya manusia, personil yang mengoperasikan PLTN harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat, dan wajib mempunyai sertifikat sebagai operator reaktor yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, mereka harus mengikuti dan lulus ujian pelatihan. Sertifikat tersebut berlaku untuk jangka waktu tertentu dan setelah lewat masa berlakunya maka akan dilakukan pengujian kembali.
4.3. Pemanfaatan Radioisotop
radioisotop juga telah digunakan dalam berbagai bidang misalnya industri, teknik, pertanian, kedokteran, ilmu pengetahuan, hidrologi, dan lainlain. Pada materi ini kita akan membahas dua penggunaan radioistop, yaitu sebagai perunut (tracer) dan sumber radiasi. Pengunaan radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikataan bahwa isotop radioaktif mempunyai sifat kirnia yang sama dengan isotop stabil. Jadi suatu isotop radioaktif melangsungkan reaksi kimia, yang sama seperti isotop stabilnya. Sedangkan penggunaan radioisotop sebagai sumber radiasi didasarkan pada kenyataan bahwa radiasi yang dihasilkan zat radioaktif dapat mempengaruhi materi maupun mahluk. Radiasi dapat digunakan untuk memberi efek fisis: efek kimia, maupun efek biologi. Oleh karena itu, sebelum membahas pengunaan radioisotop kita akan mengupas terlebih dahulu tentang satuan radiasi dan pengaruh radiasi terhadap materi dan mahluk hidup. Radioaktif Sebagai Perunut. Sebagai perunut, radoisotop ditambahkan ke dalam suatu sistem untuk mempelajari sistem itu, baik sistern fisika, kimia maupun sistem biologi. Oleh karena radioisotope mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan senyawa itu dapat dipantau.
1.Bidang kedokteran
kedua isotop itu digunakan secara bersamasama untuk mendeteksi kerusakan jantung 1131 akan diserap oleh kelenjar gondok, hati dan bagianbagian tertentu dari otak. Oleh karena itu, 1131 dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada kelenjar gondok, hati dan untuk mendeteksi tumor otak. Larutan garam yang mengandung Na24 disuntikkan ke dalam pembuluh darah untuk mendeteksi adanya gangguan peredaran darah misalnya apakah ada penyumbatan dengan mendeteksi sinar gamma yang dipancarkan isotop Natrium tsb.Xe133 digunakan untuk mendeteksi penyakit paruparu. P32 untuk penyakit mata, tumor dan hati. Fe59 untuk mempelajari pembentukan sel darah merah. Kadangkadang, radioisotop yang digunakan untuk diagnosa, juga digunakan untuk terapi yaitu dengan dosis yang lebih kuat misalnya, 1131 juga digunakan untuk terapi kanker kelenjar tiroid. 2.Bidang lndustri Untuk mempelajari pengaruh oli dan afditif pada mesin selama mesin bekerja digunakan suatu isotop sebagai perunut, Dalam hal ini, piston, ring dan komponen lain dari mesin ditandai dengan isotop radioaktif dari bahan yang sama.
3.Bidang Hidrologi.
1.Mempelajari kecepatan aliran sungai.
2.Menyelidiki kebocoran pipa air bawah tanah.
4.Bidang Biologis
Radiasi dalam dosis tertentu dapat mematikan mikroorganisme sehingga dapat digunakan untuk sterilisasi alatalat kedokteran. Steritisasi dengan cara radiasi mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sterilisasi konvensional (menggunakan bahan kimia), yaitu:
a) Sterilisasi radiasi lebih sempurna dalam mematikan mikroorganisme.
b) Sterilisasi radiasi tidak meninggalkan residu bahan kimia.
c) Karena dikemas dulu baru disetrilkan maka alat tersebut tidak mungkin tercemar bakteri lagi sampai kemasan terbuka. Berbeda dengan cara konvensional, yaitu disterilkan dulu baru dikemas, maka dalam proses pengemasan masih ada kemungkinan terkena bibit penyakit.
4.4. Radioaktivitas
Atom atom yang bernomor atom besar Z>83 Jumlah proton yang besar tidak dapat diimbangi oleh Jumlah netron sehingga inti atom atom demikian akan meluruh dengan memacarkan sinar α , β dan γ.terapi dan efek radiasi Prinsip : Merusak jaringan Tumor dan aman pada jaringan normal Faktor yang harus di perhatikan
1. Jenis Radiasi
sinar x dan sinar γ ionisasi
2. Jenis Sel
Sel embrional sensitif mutasi genetik (Hk. Bergonie dan Tribondeu) “ Semakin aktif sel berproliferasi (memperbanyak diri ) semakin sensitive terhadap radiasi”
Efek Radiasi
1. Dermatitis (Radang Kulit)
2. Katarak
3. Alat kelamin : 600 rad steril, kematian fetus (hamil)
4. Paru-paru : batuk, sesak dan nyeri
5. Tulang : Osteoporosis
6. Syaraf : Myelitis dan degenerasi jaringan otak
7. Penyakit akibat radiasi:
a. Demam
b. Lemah
c. Kurang nafsu makan
d. Nausea
e. Pening
f. Mudah mencret
8. Efek genetik : Mutasi Genetik
3. Lingkungan sel : lancar atau tidaknya aliran darah
4. Relative Biological Effectiveness (RBE)
4.5. Identifikasi Limbah Radioaktif.
Untuk limbah padat dari Praktikum Proteksi Radiasi (Praktikum Dekontaminasi) menggunakan radioisotop 32P dan 131I Limbah padat yang dihasilkan akibat terkontaminasi 32P dan 131I dikelompokkan menjadi :
a. limbah radioaktif padat yang mudah terbakar, yaitu tissue, kapas, kertas merang
b. limbah yang tidak terbakar : triplek, linoleum, porselen, plastik.
c. Lalu limbah tersebut dimasukkan dalam kantong plastik, disegel, diinventaris, diukur tingkat radiasi pada permukaan kemudian diberi label katagori sesuai dengan tingkat radiasinya.
d. Isi label identifikasi limbah radioaktif antara lain ; radioisotope, bentuk kimia, bentuk fisik, aktivitas, tingkat radiasi pada permukaan bungkusan dan tanggal pengukuran Limbah radioaktif padat tersebutdimasukkan ke dalam drum ukuran 100 liter. Penyimpanan sementara dilakukan di laboratorium Proteksi Radiasi/ADPR, kemudian diserahkan ke PTAPB Setiap 3 bulan sekali dilakukan pemantauan tingkat radiasi di sekitar penyimpanan limbah. Dalam hal ini harus diperhatikan bagaimana cara penangananlimbah tersebut, yaitu : petugas harus menggunakan personal dosimeter, menggunakan sarung tangan karet untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Sedangkan limbah radioaktif cair dari kegiatan praktikum atau penelitian yang menggunakan bahan-bahan radioaktif, yaitu larutan Uranil Nitrat dalam fasa air ataupun dalam fasa organik. Limbah-limbah tersebut ditampung dalam botol-botol bekas bahan kimia atau jerigen plastik volume 30 liter. Untuk penyimpanan limbah-limbah tersebut di dalam laboratorium, hanya diberi batas dan tanda radiasi.yang ditampung sementara di dalam laboratorium Proteksi Radiasi.
4.6. Prinsip Proteksi Radiasi
Strategi Efektif Bekerja dengan Sumber Radiasi Zat radioaktif terbuka maupun terbungkus, mesin sinar-X, iradiator, dan sumber radiasi lainnya memancarkan radiasi pengion yang berbahaya. Untuk memproteksi diri dari sumber radiasi, maka diterapkan tiga strategi dasar yang dikenal sebagai prinsip proteksi radiasi, yaitu:
• Kurangi waktu berada di sekitar sumber radiasi
• Posisikan diri sejauh mungkin dari sumber radiasi
• Gunakan perisai yang sesuai
ò Waktu
Dengan sesingkat mungkin berada dekat dengan sumber radiasi, maka secara proporsional akan mengurangi dosis radiasi yang diterima. Minimalkan waktu anda bekerja, maka akan meminimalkan dosis yang diterima.
ò Jarak
Besarnya paparan radiasi akan menurun, sebanding dengan kebalikan kuadrat jarak terhadap sumber. Dengan menjauhkan sumber radiasi dengan faktor dua, akan menurunkan intensitasnya menjadi seperempatnya. Menjauhkan jarak sumber radiasi dengan faktor tiga akan menurunkan intensitas radiasi menjadi sepersembilannya. Bilamana diperlukan selalu gunakan tongkat penjepit panjang untuk memindahkan atau mengambil sumber radiasi dengan aktivitas atau paparan radiasi yang tinggi, selalu menggunakan rak tabung, baki, atau apa saja yang bisa menjauhkan sumber radiasi dari tubuh apabila memindahkan atau mengambil sumber radiasi dengan dengan aktivitas atau paparan radiasi yang rendah. Selalu menyimpan zat radioaktif, peralatan terkontaminasi dan limbah radioaktif sejauh mungkin dari daerah kerja atau pintu.
ò Perisai
Perisai yang tepat dapat menurunkan secara eksponential paparan radiasi gamma dan menghalangi hampir semua sinar radiasi-beta. Pilih dan gunakan perisai yang sesuai selama melakukan penelitian atau pekerjaan dengan sumber radiasi. Selain dengan ketiga strategi di atas, untuk mengurangi bahaya radiasi eksterna, maka kurangi aktivitas zat radioaktif dengan cara: Untuk sumber dengan waktu paruh pendek tunggu sampai meluruh; dekontaminasi sumber radioaktif sebelum bekerja; atau pindahkan zat radioaktif yang tidak perlu dan bisa dipindahkan ke lokasi lain.Pendokumentasian pemakaian zat radioaktif yang teliti dan akurat mempunyai berbagai maksud, salah satunya adalah dalam rangka pengamanan bahan nuklir atau radioaktif. Akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mengidentifikasi hilangnya zat radioaktif apabila pemakai tidak yakin dengan jumlah zat radioaktif yang ada di ruangannya. Pengguna zat radioaktif diwajibkan untuk memelihara rekaman penggunaannya, mulai dari penerimaan zat radioaktif, penggunaan, dan pembuangannya sebagai limbah radioaktif.
BAB V
KESIMPULAN
Hasil pencacahan tersebut ditampilkan sebagai suatu grafik antara jumlah radiasi (sumbu Y) terhadap energi radiasi (sumbu X). Beberapa bahan yang ada di alam, seperti uranium, apabila direaksikan dengan neutron, akan mengalami reaksi pembelahan dan menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk memanaskan air hingga menjadi uap. Radioisotop digunakan sebagai sumber radiasi Dewasa ini, penggunaan radioisotop untuk maksud - maksud damai (untuk kesejahteraan umat manusia) berkembang dengan pesat. Pusat listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah salah satu contoh yang sangat populer. PLTN ini memanfaatkan efek panas yang dihasilkan reaksi inti suatu radioisotop , misalnya U235. Selain untuk PLTN, radioisotop juga telah digunakan dalam berbagai bidang misalnya industri, teknik, pertanian, kedokteran, ilmu pengetahuan, hidrologi, dan lain - lain. Strategi Efektif Bekerja dengan Sumber Radiasi Zat radioaktif terbuka maupun terbungkus, mesin sinar-X, iradiator, dan sumber radiasi lainnya memancarkan radiasi pengion yang berbahaya.
Daftar Pustaka
BATAN. 2005. Disain Penahan Ruang Sinar – X. Pusdiklat. BATAN. Jakarta
STTN-BATAN, 2005.Petunjuk Praktikum Proteksi Radiasi dan Keselamatan Kerja.Yogyakarta.
SURATMAN, 2001.Pemantauan Kontaminasi Radioaktif Permukaan. P3TM BATAN, Yogyakarta.
http://sttn-batan.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar